Sabtu, 20 Mei 2017

Pantai Oetune, Eksotisme Padang Pasir Ala Timor

Pagi yang dingin di Soe membuatku malas bangun dan ingin tidur saja sepanjang hari. Kupaksakan diri untuk mandi walaupun masih mengantuk dan udara yang begitu dingin. Yup, Soe memang terkenal sebagai kota paling dingin di daratan Timor karena kota kecil ini berada diatas ketinggian 900 mdpl. Puncak musim dingin di Soe biasanya mulai bulan Juni sampai September. Di bulan-bulan tersebut jangan harap bisa jalan-jalan keluar rumah tanpa mengenakan jaket. 


Hari ini aku akan mengunjungi pantai Oetune dan Kolbano. Om Nus mengantarku sampai di halte bus KM 2 kota Soe untuk menunggu angkutan umum. Masih jam 7 pagi. Jalan masih sepi. Tidak ada satupun angkutan yang lewat. Setengah jam sudah aku menunggu. Ah, aku baru ingat, ternyata sekarang hari Minggu! Pantas saja tidak ada kendaraan karena sebagian besar warga masih ke gereja! Aku bermaksud menelpon om Nus agar menjemputku kembali ke rumah. Tiba-tiba datang bus jurusan Kupang. Kubatalkankan niatku menelpon om Nus. Kulambaikan tangan dan bus berhenti di depanku. Aku langsung naik. Cuma ada 3 penumpang termasuk aku. 
Biasanya ada angkutan umum jurusan Oetune dan Kolbano langsung. Kalau naik bus jurusan Kupang begini aku harus turun lagi di pertigaan desa Batu Putih sebelum jembatan Noelmina. 
Tidak sampai sejam bus sudah tiba di Batu putih. Ongkos bus dari Soe ke Batu Putih sebesar 10 ribu.  Disini aku turun dan melanjutkan perjalanan dengan naik angkutan desa dengan ongkos 15 ribu sampai di Oetune. Angkutan desa disini berupa mobil pick up yang diberi atap dan balok kayu melintang di baknya sebagai tempat duduk penumpang.




Jam 10 pagi aku sudah sampai di Oetune. Suasana masih sangat sepi. Tidak ada satu orangpun termasuk penjaga tiket juga belum datang. Sebenarnya ini adalah keempat kalinya. Dulu tiga kali aku kesini ketika masih kerja di Soe bersama teman-teman kantor untuk bersantai biasa. Kedatanganku kali ini karena penasaran dengan padang pasir Oetune yang fotonya banyak kulihat di medsos. 
Panas sekali cuaca hari ini. Aku berjalan ke arah kiri menyusuri pantai. Beberapa menit kemudian aku sampai di gundukan pasir yang lumayan luas. Aku mulai mengambil beberapa foto. Tiba-tiba datang seorang bapak tua pembuat nira dari pohon lontar. Kami ngobrol sebentar. Beliau memberi tahu kalau masih ada padang pasir yang lebih luas dan bagus tidak jauh dari sini. Mendengar hal itu aku langsung bersemangat. Tidak peduli dengan sinar matahari yang makin menyengat aku kembali berjalan menyusuri pantai. 



Sekitar 10 menit aku sudah sampai di tempat yang dimaksud.
Wow! Aku langsung berdecak kagum. Gundukan pasir mirip gurun terbentang di depan mataku. Sejauh mata memandang hanya terlihat pasir dan pasir. Guratan-guratan diatas permukaan pasir yang dibentuk oleh hembusan angin membuatnya tampak begitu indah. 
Ada sedikit penyesalan dalam hati kenapa baru sekarang aku menginjakkan kaki di tempat ini padahal pernah bertahun-tahun tinggal di Soe!




How to get there:
1. Dari Kupang
-Naik bus jurusan Kolbano dengan ongkos sekitar 35 ribu.
-Naik bus Jurusan Soe/Atambua tapi turun di pertigaan  desa Batu Putih setelah jembatan Noelmina. Dari sini dilanjutkan dengan naik angkutan desa menuju Oetune
2. Dari Soe
-Naik bus jurusan Kolbano dengan ongkos sekitar 35 ribu.
-Naik bus jurusan Kupang tapi turun di pertigaan desa Batu Putih sebelum jembatan Noelmina. Dari sini dilanjutkan dengan naik angkutam desa jurusana Oetune
Tips tambahan: Jangan lupa bawa sunblock kalau tidak ingin kulit terbakar karena disini sangat panas!

Mendaki gunung Merapi


Hujan turun dengan deras mengguyur kota Solo sore itu. Kubaca pesan Line dari Heru ketika kereta api Pramex sampai di stasiun Balapan. Dia sudah menungguku di depan pintu keluar stasiun.
Aku bergegas turun. Pegal juga rasanya berdiri dari Jogja selama sejam karena tidak dapat tempat duduk.
Heru mengantarku ke mess mahasiswa milik Pemda Kaltim tempat tinggal Bagas. Aku biasa tidur disini kalau sedang main di Solo. Keesokan siangnya kami berangkat ke Selo, Boyolali. Kami berencana naik gunung Merapi bersama teman-teman dari Jogja, Semarang, dan kota-kota lainnya.
Jam 4 sore kami sampai di basecamp pendakian. Basecamp sudah ramai oleh pendaki. Mungkin karena akhir pekan.
Baiklah, sebelumnya kuabsen dulu siapa saja yang ikut pendakian kali ini.
1. Heru ( Solo )
2. Bagas ( Solo )
3. Andian ( Klaten )
4. Ibnu ( Solo )
5. Zaqy ( Malang )
6. Brian ( Bandung )
7. Arif ( Jogja )
8. Roby ( Jogja )
9. Cece ( Surabaya )
10. Abbaq ( Jogja )
11. Rizky ( Semarang )
12. Cassandra ( Jakarta )
13. Novi ( Semarang )
14. Faizal ( Semarang )
15. Endy ( Rembang )
16. Lidya ( Batang )
17. Lois ( Jogja )
18. Mossy ( Jepara )
19. Ifantri ( Wonosobo)
20. Nemo ( Bali )
Jam 7 malam kami mulai pendakian minus Ibnu dan Brian karena masih menunggu kedatangan Lois dan Abbaq. Sempat terjadi insiden kecil karena beberapa teman yang berjalan paling depan salah jalur yang mengharuskan mereka kembali lagi. 

Pagi Di Merapi

Jalan mulai berubah dari paving beton ke tanah. Jalur terus menanjak dengan kemiringan bervariasi. Nyaris tanpa bonus sama sekali. Kami istirahat di Pos 1 setelah sekitar 1 jam berjalan. Malam itu cuaca cukup cerah. Pemandangan malam hari kota Boyolali dan Jogja terlihat jelas dan indah.
Jam 11 malam kami sudah sampai di Watu Gajah. Dinamakan demikian karena disini ada batu bulat sebesar gajah disebelah kiri jalur. Ini merupakan salah satu spot pavorit buat berfoto-foto buat para pendaki.
Jalur mulai agak landai dengan bebatuan dan pasir kerikil. Aku terus berjalan diantara cerukan batu hingga sampai di tanah datar dan lapang. Suasana sepi sekali. Aku berhenti disini sambil menunggu teman-teman lain yang masih di belakang.
Kuarahkan senter ke segala penjuru. Kulihat papan bertuliskan "Pasar Bubrah ". Ah, ternyata aku sudah sampai. Aku berjalan turun ke arah kerlap kerlip lampu senter di bawah. Pasar Bubrah merupakan dataran luas berbatu. Disinilah para pendaki mendirikan tenda sebelum ke puncak Merapi.
Aku satu tenda dengan Endy, Rizky dan Cece. Udara benar-benar dingin menusuk. Kucoba untuk tidur. Tiba-tiba kudengar suara gamelan sayup-sayup. Makin lama suara gamelan itu makin jelas di telinga. Aku yang sudah sering membaca kisah mistis di pasar bubrah merasa bergidik ngeri. Kumasukan kepalaku kedalam sleeping bag dan menutup kedua telingaku.


Jalur menuju  ke Puncak Merapi 


Jangan salah fokus sama topinya :)

Jam 5 pagi aku sudab terjaga. Kulihat Rizky juga sudah bangun dan mempersiapkna kameranya untuk memotret sunrise. Aku keluar tenda dengan agak malas-malasan karena udara yang begitu dingin sambil membawa kamera. Teman-teman di tenda lain belum ada yang bangun.
Setelah mengambil beberapa foto aku kembali ke tenda. Kulihat Roby keluar dari tendanya. Akupun mengajaknya naik ke puncak. Jam 6 pagi kami mulai pendakian ke puncak berbekal satu botol besar air mineral. Jalur dari pasar Bubrah ke puncak Merapi merupakan jalur berpasir, mirip dengan jalur ke puncak Semeru. Hanya saja lebih dalam pasirnya yang di Semeru. Jalur dengan pasir begini memang menyebalkan dan butuh kesabaran extra. Setelah melewati jalur pasir, jalurnya berupa bebatuan yang agak enak untuk dipijak. Tapi tetap harus hati-hati karena curam dan batu-batunya mudah lepas.

Sepatu Joggingku dah sampai puncak Merapi :)

 Puncak Merapi. Photo by @ifantri


 Roby on the Top!


Jam 7.10 pagi akhirnya kami sampai di pinggir kawah Merapi. Kulihat disebelah kiri menjulang gagah puncak tusuk gigi. Aku agak merinding melihatnya, mengingat dua tahun lalu seorang pendaki tewas jatuh kedalam kawah setelah berfoto-foto di sana.



Kebersamaan ini akan selalu dikenang. Thank you so much guys!

Mengunjungi Wae Rebo Lagi


Ruteng sudah terlihat sepi ketika mobil travel yang kutumpangi mulai memasuki kota. Sudah jam 9 malam. Rencananya malam ini aku menginap di rumah Ican, temanku, yang berada di dekat gereja katedral. Tahun lalu ketika pulang dari Reo aku juga menginap di rumahnya.
Tujuanku ke Flores kali ini untuk mengunjungi desa adat Wae Rebo kembali. Sebelumnya aku sudah janjian sama Franz, temenku asal Ambon yang kuliah di Makasar. Frans sendiri sudah di tiba di Ruteng siang hari tadi. Sementara Ican tidak ada di rumah. Ican tinggal di Ende karena sudah diterima kerja di BNI Cabang Ende. Sekarang di rumah cuma ada papa, mama, salah satu kakak laki-lakinya dan seorang pembantu. 

14 Februari 2017.
Pagi-pagi aku langsung ke hotel Rima untuk menyewa motor.
Sebelum berangkat ke Wae Rebo, aku dan Frans menyempatkan diri jalan-jalan di sekitar bandara Ruteng. Penerbangan dari dan ke Ruteng cuma ada beberapa kali dalam seminggu. Kebetulan hari itu tidak ada penerbangan, jadi kami bisa masuk ke dalam bandara melalui pagar belakang yang terbuka dan berfoto-foto di landasan pacunya.

Persawahan yang indah di sebelah bandara Ruteng

Siap tinggal landas menuju Wae Rebo 

Kami kembali ke rumah sebentar untuk berpamitan dengan keluarga Ican dan jam 9 pagi kami berangkat menuju Wae Rebo melalui jalur desa Iteng. Kami bergerak ke arah selatan Ruteng menyusuri jalan yang terus menanjak, sempit dan berkelok. Kabut turun lumayan tebal ketika kami sampai di puncak gunungnya. Setelah melewati gunung, kami singgah sebentar di kios untuk mengisi bensin. Beberapa kali kami berhenti untuk bertanya kepada penduduk setempat arah menuju Dintor. Pemandangan indah dengan sawah-sawah menghijau menemani kami selama perjalanan.
Setelah kurang lebih 2 jam berkendara kami sampai di jalan dengan pantai berbatu kerikil hitam di sebelah kiri jalan. Kami beristirahat disini dan mengambil beberapa foto. Sebuah pohon tampak berdiri kokoh di tengah laut menggodaku untuk memanjatnya. Setelah melalui perjuangan extra karena harus melawan terjangan ombak akhirnya aku  bisa duduk di dahannya. Tampak di seberang pulau Mules dengan bukit batu yang menyerupai tower yang menjulang gagah. Nama pulau itu sebenarnya adalah pulau Molas yang dalam bahasa Manggarai berarti cantik. Tapi entah kenapa diplesetkan namanya menjadi Mules yang membuat orang tertawa ketika mendengar namanya pertama kali, he he.. Aku menyimpan keinginan untuk berkunjung ke pulau itu suatu hari nanti. Garis pantai dengan pasir putih dan gradasi warna air lautnya tampak begitu menggoda.

 Perjuangan extra untuk bisa duduk di sana :)

 Pantai yang indah dengan batu-batunya yang cantik

Pulau Mules

Sekitar jam 12 siang kami sampai di Dintor. Kami istirahat sebentar untuk makan siang sebelum melanjutkan perjalanan kembali ke desa Denge.
Sekarang trekking ke Wae Rebo sudah bisa lebih singkat kalau kita membawa motor sendiri dari Ruteng karena motor sudah bisa sampai di Pos 1. Setelah menitipkan motor disini kamipun melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki. Jalur langsung menanjak dan sedikit licin karena musim hujan. Beruntung cuaca hari itu lumayan cerah. Aku berjalan di belakang Franz sementara dia sibuk sesekali memvideokan perjalanan kami. 
Satu jam berjalan kami sudah sampai di pos 2 atau biasa juga di sebut pos Poco Roko. Biasanya ada sinyal telepon disini tetapi itu juga tidak tentu. Di pos ini kami bertemu dengan pasangan suami istri asli Wae Rebo yang akan turun ke desa Kombo. Mereka membawa satu ikat besar kayu manis dengan berat sekitar 20 kg. Mereka akan menjual kayu manis tersebut di pasar Kombo dengan harga Rp.12 ribu/kg. 


Kami melanjutkan perjalanan kembali setelah hampir setengah jam di sana. Baru beberapa menit berjalan, tiba-tiba hujan turun lumayan deras yang akhirnya memaksa kami mengeluarkan jas hujan. Ternyata hujan hanya turun sebentar saja. Jalur mulai menurun dan landai. Setelah melewati jembatan bambu, kami memasuki kebun kopi milik warga Wae Rebo. Itu artinya tujuan kami sudah dekat.
Beberapa menit kemudian kamipun sampai di pos 3 atau biasa juga disebut rumah kasih Ibu. Disini ada rumah pangung kecil beratap kerucut dengan kentungan di dalamnya. Pengunjung yang ke Wae Rebo wajib memukul kentungan ini beberapa kali agar terdengar oleh warga kampung. Ini sebagai pertanda kalau ada tamu yang datang. Dengan begitu ibu-ibu akan segera menyiapkan kopi dan snack untuk para tamu yang datang.
Sebelum memasuki kampung, kulihat seorang bapak tua sedang menguliti pohon kayu manis. Kami ngobrol sebentar. Aku meminta satu potong  kecil kulit kayu manis dan langsung kumakan karena penasaran dengan rasa kayu manis mentah. Rasanya manis dan sedikit getir.
Sampai di Wae Rebo kami langsung menuju rumah utama untuk mengikuti upacara Waelu disambut oleh bapak tetua adat. Setelah bertanya tentang nama dan asal kami berdua, beliau langsung berdoa, memohon izin kepada para leluhur untuk menerima tamu dan mohon perlindungan dan keselamatan hingga tamu meninggalkan kampung dan kembali ke tempat asal. Untuk upacara ini kita dikenakan sumbangan seikhlasnya.
Oh ya, ada peraturan disini yaitu dilarang keras untuk berfoto-foto sebelum mengikuti upacara Waelu. 
Setelah upacara selesai, kami dipersilahkan untuk istirahat di rumah tamu. Sore itu cuma aku dan Franz tamunya. Menurut info dari seorang warga masih ada rombongan tamu berjumlah 4 orang di belakang kami. 








Wae Rebo merupakan kampung tradisional dengan tujuh buah rumah beratap kerucut yang disebut juga Mbaru Niang. Dalam satu rumah ada ditempati 6-7 kepala keluarga. Cuma ada orang tua dan anak-anak balita yang tinggal di kampung ini. Anak-anak usia sekolah tinggal di Kombo dan desa-desa lainnya untuk mengenyam pendidikan. Seminggu sekali pulang kampung, naik ke Wae Rebo untuk bertemu dengan orang tuanya. Sedari kecil mereka sudah dibiasakan hidup mandiri. Mata pencaharian utama penduduk Wae Rebo adalah bertani dan bercocok tanam di ladang.
Setelah menaruh ransel aku dan Frans keluar rumah untuk mengambil foto dan bermain dengan anak-anak kecil yang riang gembira ketika Franz membagikan permen dan stiker buat mereka.
Ah, akhirnya setelah hampir 4 tahun, aku kembali juga ke tempat indah dan damai ini...

Jelajah Sumba part 2



Selasa, 21 Februari 2017
Pagi ini, aku, Frans, Kalpin, Tina dan Alib bertolak menuju Waingapu dengan menumpang mobil travel. Perjalanan dari Waingapu ke Waikabubak ditempuh kurang lebih selama 3 jam. Sebelumnya aku sudah menghubungi kak Yeni dan kak Noni di Waingapu. Mereka memang sudah menunggu kedatanganku di Sumba dari dulu.
Hari ini di Waingapu kami menginap di rumah Alib. Jam 5 sore kak Yeni dan kak Noni pulang dari tempat kerja dan langsung menjemputku di rumah Alib dan berangkat ke bukit Wairunding. Dari Waingapu ke bukit Wairinding memerlukan waktu sekitar 30 menit. 

 Kak Noni 

Senja di bukit Wairinding

Rabu, 22 Februari 2017
4 hari di Sumba sukses membuat kukitku terbakar sampai kehitaman. Hari ini kami berencana ke air terjun Tanggedu. Perjalanan sempat tersendat karena motor yang dipakai Franz dan Kalpin mengalami pecah ban. Kami memutuskan untuk batal ke Air Terjun setelah melihat air sungai yang berwarna coklat karena kemungkinan air terjun di Tanggedu airnya berwarna coklat juga, tentu tidak menarik lagi. Kami berbalik arah dan menghabiskan waktu di pantai dan savana Puru Kambera yang indah.
Malam harinya aku pindah menginap di Asrama Polisi tempat adiknya Kak Yeni bertugas. Adiknya ini juga yang memberi pinjaman motor Vixion miliknya untukku.



Puru Kambera 

Kamis, 22 Februari 2017

Hari ini aku merasa malas sekali. Dari pagi lebih banyak kuhabiskan waktu dengan tidur-tiduran dan bermain internet. Sebenarnya Frans mengajakku ke pantai Tarimbang. Kulit wajahku terasa panas dan perih membuatku malas untuk keluar jalan-jalan.
Agak sore aku baru ke rumah Alib setelah Frans mengajakku ke sebuah tempat indah yang banyak kincir anginnya. Kami berangkat berenam dengan menggunakan 3 motor menuju desa Maubakul, tempat kincir angin pembangkit tenaga listrik tersebut. Pemandangan menuju desa ini begitu menyenangkan dengan savana menghijau di kiri kanan jalan. Begitu sedap dipandang.
Sudah 2 jam kami berkendara. Jalan mulai sempit, berbatu dan terjal. Kondisi jalannya benar-benar buruk dan hancur. Mengingatkan aku akan jalan di Fatu Ulan, Timor Barat. Bahkan Frans yang berboncengan dengan Kalpin beberapa kali harus turun dari motor karena motornya tidak kuat di tanjakan yang begitu curam.
Setelah perjuangan hampir 3 jam sampailah kami di lokasi kincir angin. Desa ini begitu terpencil. Ada puluhan kincir angin disini yang digunakan sebagai pembangkit tenaga listrik untuk mengalirkan listrik ke seluruh desa. 
Sunset yang indah sore itu menutup petualanganku selama 6 hari di Sumba.

 The Savannah 

 Mey Mey

So Romantic! 

Sumba Girl :)

GALLERY FOTO- FOTO KEINDAHAN TANAH SUMBA YANG LAIN. LET'S CHECK IT OUT GUYS!

Pantai Mandorak

 Pasola

 Pantai Mbawana

 Cowgirl in Puru Kambera 






  Spring in Sumba!

Kuda Sandelwood